-->
Pertemuan
Singkat
by : Annisa Noranda Barezky
Matahari
berjalan perlahan menuju peraduannya yang berada di timur bumi menemani suasana
hiruk pikuk kota ku yang penuh kendaraan
lalu lalang menuju rumah masing-masing. Aku larut dalam kekalutan pikiranku. Ku
telusuri taman kota yang ramai pengunjung karena hari ini adalah weekend. Langkahku terhenti di depan
sebuah bangku panjang yang ada di sudut taman yang berada di pinggir sungai. Ku
hempas tubuhku di atas bangku tersebut. Lalu ku hembus kasar nafasku. Lelah,
itu yang yang kurasakan sekarang. Lelah merasa repot dengan tumpukan tugas
sekolahku yang semakin hari tak kunjung selesai. Pandangan kosong kutujukan ke
arah aliran tenang sungai berharap aku menemukan solusi untuk membangkitkan
semangatku lagi. Tiba-tiba rintik air mulai membasahi tanah kota ku, gerimis.
Orang-orang berlarian mencari tempat teduh demi menghindari rintikan air hujan.
Berbeda denganku yang enggan beranjak dari tempat dudukku, aku ingin menikmati
hujan. Ku pejamkan mataku perlahan. Bisa kurasakan rintik rintik itu mulai
membasahi tubuhku. Biarlah, aku tidak peduli. Ku hirup kuat aroma khas saat
hujan yang sudah bertahun-tahun tak sempat kunikmati lagi. Pikiranku mulai
tenang dengan aroma dan keadaan yang sebenarnya sangat kusukai ini. Tiba-tiba
rintik-rintik itu tidak menghujam tubuhku lagi. Ku buka mataku perlahan. Ada
apa ini? Keadaan sekitar masih hujan. Kenapa aku tidak merasakan air itu lagi?
“apa
aku memiliki kekuatan untuk mengendalikan air?” gumamku pelan.
“tentu
saja tidak, kau itu manusia biasa.” Jawab seseorang yang memiliki suara bass di belakangku, sontak aku menoleh
ke arahnya. Tampak seorang laki-laki asing tengah memayungiku dengan payung
transparan sembari tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. Aku
mengerenyitkan dahi, siapa dia?
“siapa
kau? Aku tak mengenalmu.” Ujarku.
“aku
Ken, Tristan Ken. Bagaimana denganmu?” jawabnya lalu duduk di sebelahku.
“aku
Aira.” Jawabku lalu kembali memandang kosong aliran sungai.
“kenapa
kau membiarkan hujan membasahi tubuhmu? Apa kau memiliki masalah? Ceritakan
saja, aku bukan pendengar yang buruk.”
Apa
diriku benar-benar terlihat menyedihkan? Terserah saja, aku tidak peduli.
Kutatap mata Ken yang menatapku teduh. Aku merasa nyaman dan membutuhkan tempat
untuk bercerita. Mengingat orang tauku
adalah tipe orang yang lumayan sibuk dan aku sering merasa kesepian di rumah.
Aku juga bukan tipe orang yang mudah bergaul sehingga aku tidak memiliki banyak
teman untuk bercerita. Dan kurasa, Ken adalah orang yang tepat.
“aku kehilangan
semangatku untuk bersekolah. Aku merasa lelah dengan semuanya.” Kataku pelan.
Bisa kulihat dari sudut
mataku ia tengah memandangku lekat.
“kenapa kau kehilangan
semangat untuk bersekolah? Apa kau ditinggalkan kekasihmu?”
“tidak,
aku tidak memiliki kekasih.”
“lalu?
Apa alasanmu kehilangan semangatmu?”
“entahlah,
aku merasa lelah.. dan bosan.”
“apa orang tuamu
kehilangan semangat untuk membiayai sekolahmu? Apa orangtuamu merasa lelah dan
bosan melihatmu berangkat ke sekolah?”
“tidak.”
“jadi? Kau merasa lelah
dan bosan tanpa alasan yang jelas. Itu sangat konyol.” Ujarnya dengan nada
meremehkan, menurutku.
Benar,
itu sangat konyol. Tapi mau bagaimana
lagi? Itu masalah yang sedang kuhadapi sekarang.
“sederhana saja. Kau
memikirkan masalah yang kau buat sendiri, jadi kau harus menyelesaikannya
sendiri. Untuk apa mempersulit keadaan yang sebenarnya sangat sederhana?
Semangatmu, hanya kau yang bisa membangkitkannya kembali. Bangkitkan dengan
niat kuatmu untuk melihat wajah cerah orangtua mu ketika melihat kau sukses.
Anak mana yang tak ingin membahagiakan orangtuanya? Nah, kalau begitu. Yakinkan
hatimu. Aku yakin, kau pasti bisa.”
Sekali lagi, dia benar. Sebenarnya aku yang
mempersulit keadaan. Kenapa tak terpikirkan olehku?
“tapi, semua sudah terlambat. Sebentar lagi
ujian kenaikan kelas.” Keluhku, lagi.
“tidak
ada kata terlambat. Asal kau mau berusaha? Kenapa tidak?” ku pandang wajahnya
atau lebih tepat lagi menatap manik matanya, ia tampak kikuk karena
kuperhatikan seserius itu. Kemudian senyum cerah mengembang di wajahku.
“terimakasih
Ken.” Kataku lalu tersenyum kembali.
“aku
hanya memberitahumu, tidak lebih.” Jawabnya lalu tersenyum padaku, baru
kusadari ternyata ia laki-laki yang manis. Tampaknya ia adalah seorang blasteran Jepang-Indo.
“jadi, kita berteman. Oke?” ujarku lalu mengulurkan tanganku
ke arahnya. Ia tersenyum lalu menyambut uluran tanganku “oke”.
Ternyata gerimis sudah
reda. Aku harus segera pulang agar orangtuaku tak khawatir.
“hm, Ken. Aku harus
pulang. Orangtuaku sudah menunggu di rumah. Terimakasih untuk saranmu, saranmu
sangat membantu.”
“hm, baiklah. Sama-sama
Aira.”
“eum, bisakah kita
bertemu lagi dilain waktu?”
Ia kembali menyunggingkan
senyuman manis miliknya.
“tentu. Kalau tuhan
berkehendak.” Jawabnya lalu tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
***
Aku
tengah memandang kosong langit kamarku yang berwarna putih. Aku memikirkan Ken.
Entahlah, semenjak pertemuan itu kata-katanya terus terngiang di telingaku. Ku
akui, sorang gadis pemalas bernama Aira mulai menyukai laki-laki murah senyum
dan bijak bernama Tristan Ken. Sudah 3 minggu kejadian itu berlalu. Semenjak
saat itu pula aku tak bertemu dengan Ken lagi, hampir tiap sore aku duduk di
bangku yang berada di sudut taman itu menunggu sembari berharap akan bertemu
dengannya lagi. Tapi, aku merasa usahaku sia-sia. Aku selalu pulang dengan rasa
kecewa karena tak bertemu dengannya. Tapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap
karena teringat perannya sangat besar dalam hidupku serta senyum manis
miliknya. Hitung-hitung sejak 3 minggu yang lalu.
Aku sangat berterimakasih padanya karena
akhirnya semangat belajarku mulai stabil kembali, walaupun peringkatku tidak
naik begitu pesat. Bayang senyuman manis miliknya terus menghantuiku. Aku
menyesal tak bertanya lebih jauh tentangnya seperti nomor teleponnya. Kapan aku
bisa bertemu dengannya lagi? Rindu di hatiku sudah membumbung tinggi untuknya.
Jika aku bertemu dengannya. Aku berjanji akan mengungkapkan perasaanku. Aku
janji.
Ceklek.
Terdengar
bunyi knop pintu kamarku terbuka dan ibu masuk menghampiriku, membuyarkan
lamunanku tentang Ken.
“Aira, ayo ganti baju.
Kita akan berziarah ke makam kakek
dan nenek. Besok sudah puasa.”
“baiklah bu.”
Aku baru ingat jika besok
para umat muslim mulai menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Ah, semoga
saja aku bisa bertemu dengannya di komplek pemakaman.
***
Ku
ikuti langkah ibu dan ayah di depanku menyisir tanah komplek pemakaman. Komplek
pemakaman sedikit ramai karena tak sedikit orang yang datang untuk berziarah.
Sesaat setelah tiba di makam nenek dan kakek yang kebetulan bersebelahan.
Pandanganku tertuju dengan makam baru yang tepat ada di sebelah kiri makam
nenekku. Ku sesali aku menurunkan sifat ingin tahu dari ayahku. Tapi tidak ada
salahnya jika aku tahu siapa yang tampaknya baru meninggal. Ku baca nama yang
ada pada nisannya.
Tristan Ken bin Mashahi
Ken
Lahir : Tokyo, 12 April
1994
Wafat : Jambi, 30 Mei
2012
Perlahan
satu-persatu kristal beningku terjatuh bebas secara bergiliran. Lututku terasa
lemas tak sanggup menopang tubuhku. Aku terduduk lemas dan mulai mengeluarkan
isakan kecil. Dia, dia meninggal tepat sehari setelah aku bertemu dengannya.
Aku sudah kehilangan salah satu teman baikku. Tidak, aku sudah kehilangan
seseorang yang aku sukai. Jadi inikah yang kau maksud dengan ‘jika tuhan
berkehendak’? Aku berharap ini adalah mimpi dan ibuku membangunkanku dari mimpi
burukku. Tapi, bisa kusadari. Ini bukan mimpi.
Jadi,
inikah yang dinamakan sakit hati? Jantungku berdetak tak karuan, nafasku
memburu, leherku tercekat, nyeri yang menohok hatiku, dan lidahku kelu. Tak
sanggup untuk berbicara bahkan untuk menggerakkan bibirpun rasanya sangat
sulit.
“hai
Ken.. kenapa kita bertemu di sini? Aku tak menyangka jika kita akan bertemu
lagi. Tuhan memang mengabulkan doa ku bertemu denganmu di komplek pemakaman,
tapi sayang dunia kita sudah berbeda. Hm, terimakasih atas saranmu waktu itu.
Aku memiliki kemajuan yang pesat setelah bertemu denganmu saat itu.”
Ku
hentikan ucapanku, dadaku terasa sangat sesak. Ku hirup nafas dalam-dalam. Lalu
mencoba untuk berbicara lagi. Walaupun isakan kecil masih keluar begitu saja
dari mulutku. Haruskah aku menepati janji yang belum lama aku ucapkan?
“Dan satu lagi, aku menyukaimu. Menyukaimu
sebagai lelaki. Bukan sebagai sahabat atau istilah lainnya. Ken.. semoga kau
tenang di pangkuan-Nya.. apa kau sudah bertemu dengan kakek dan nenekku? Jika
kau bertemu dengannya. Katakan pada mereka jika kaulah yang membuat cucu mereka
yang pemalas bisa menjadi rajin. aku akan selalu mengingat jasamu. Kau
pahlawanku..”
Ku
sentuh nisan kayu milik Ken dengan jemari ku yang bergetar hebat. Sekelebat
bayang senyumnya kembali tergambar jelas dalam memoriku. Senyuman, mata elang
miliknya. Aku menyukai semua hal yang ada pada dirinya. Terasa rintik-rintik
air mulai membasahi punggung tanganku dan nisan Ken, gerimis. Gerimis yang
mengiringi pertemuan kita. Gerimis pula
yang mengiringi keharusanku untuk ikhlas melepaskanmu. Gerimis pengiring
pertemuan dan perpisahan kita. Pertemuan
singkat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar