Translate

Minggu, 11 November 2012

Cerpen : Pertemuaan Singkat

-->
Pertemuan Singkat
by : Annisa Noranda Barezky

Matahari berjalan perlahan menuju peraduannya yang berada di timur bumi menemani suasana hiruk pikuk  kota ku yang penuh kendaraan lalu lalang menuju rumah masing-masing. Aku larut dalam kekalutan pikiranku. Ku telusuri taman kota yang ramai pengunjung karena hari ini adalah weekend. Langkahku terhenti di depan sebuah bangku panjang yang ada di sudut taman yang berada di pinggir sungai. Ku hempas tubuhku di atas bangku tersebut. Lalu ku hembus kasar nafasku. Lelah, itu yang yang kurasakan sekarang. Lelah merasa repot dengan tumpukan tugas sekolahku yang semakin hari tak kunjung selesai. Pandangan kosong kutujukan ke arah aliran tenang sungai berharap aku menemukan solusi untuk membangkitkan semangatku lagi. Tiba-tiba rintik air mulai membasahi tanah kota ku, gerimis. Orang-orang berlarian mencari tempat teduh demi menghindari rintikan air hujan. Berbeda denganku yang enggan beranjak dari tempat dudukku, aku ingin menikmati hujan. Ku pejamkan mataku perlahan. Bisa kurasakan rintik rintik itu mulai membasahi tubuhku. Biarlah, aku tidak peduli. Ku hirup kuat aroma khas saat hujan yang sudah bertahun-tahun tak sempat kunikmati lagi. Pikiranku mulai tenang dengan aroma dan keadaan yang sebenarnya sangat kusukai ini. Tiba-tiba rintik-rintik itu tidak menghujam tubuhku lagi. Ku buka mataku perlahan. Ada apa ini? Keadaan sekitar masih hujan. Kenapa aku tidak merasakan air itu lagi?

“apa aku memiliki kekuatan untuk mengendalikan air?” gumamku pelan.

“tentu saja tidak, kau itu manusia biasa.” Jawab seseorang yang memiliki suara bass di belakangku, sontak aku menoleh ke arahnya. Tampak seorang laki-laki asing tengah memayungiku dengan payung transparan sembari tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. Aku mengerenyitkan dahi, siapa dia?

“siapa kau? Aku tak mengenalmu.” Ujarku.

“aku Ken, Tristan Ken. Bagaimana denganmu?” jawabnya lalu duduk di sebelahku.

“aku Aira.” Jawabku lalu kembali memandang kosong aliran sungai.

“kenapa kau membiarkan hujan membasahi tubuhmu? Apa kau memiliki masalah? Ceritakan saja, aku bukan pendengar yang buruk.”

Apa diriku benar-benar terlihat menyedihkan? Terserah saja, aku tidak peduli. Kutatap mata Ken yang menatapku teduh. Aku merasa nyaman dan membutuhkan tempat untuk bercerita.  Mengingat orang tauku adalah tipe orang yang lumayan sibuk dan aku sering merasa kesepian di rumah. Aku juga bukan tipe orang yang mudah bergaul sehingga aku tidak memiliki banyak teman untuk bercerita. Dan kurasa, Ken adalah orang yang tepat.

“aku kehilangan semangatku untuk bersekolah. Aku merasa lelah dengan semuanya.” Kataku pelan.

Bisa kulihat dari sudut mataku ia tengah memandangku lekat.

“kenapa kau kehilangan semangat untuk bersekolah? Apa kau ditinggalkan kekasihmu?”

“tidak, aku tidak memiliki kekasih.”

“lalu? Apa alasanmu kehilangan semangatmu?”

“entahlah, aku merasa lelah.. dan bosan.”

“apa orang tuamu kehilangan semangat untuk membiayai sekolahmu? Apa orangtuamu merasa lelah dan bosan melihatmu berangkat ke sekolah?”

“tidak.”

“jadi? Kau merasa lelah dan bosan tanpa alasan yang jelas. Itu sangat konyol.” Ujarnya dengan nada meremehkan, menurutku.

Benar, itu sangat konyol.  Tapi mau bagaimana lagi? Itu masalah yang sedang kuhadapi sekarang.

“sederhana saja. Kau memikirkan masalah yang kau buat sendiri, jadi kau harus menyelesaikannya sendiri. Untuk apa mempersulit keadaan yang sebenarnya sangat sederhana? Semangatmu, hanya kau yang bisa membangkitkannya kembali. Bangkitkan dengan niat kuatmu untuk melihat wajah cerah orangtua mu ketika melihat kau sukses. Anak mana yang tak ingin membahagiakan orangtuanya? Nah, kalau begitu. Yakinkan hatimu. Aku yakin, kau pasti bisa.”
Sekali lagi, dia benar. Sebenarnya aku yang mempersulit keadaan. Kenapa tak terpikirkan olehku?
“tapi, semua sudah terlambat. Sebentar lagi ujian kenaikan kelas.” Keluhku, lagi.

“tidak ada kata terlambat. Asal kau mau berusaha? Kenapa tidak?” ku pandang wajahnya atau lebih tepat lagi menatap manik matanya, ia tampak kikuk karena kuperhatikan seserius itu. Kemudian senyum cerah mengembang di wajahku.

“terimakasih Ken.” Kataku lalu tersenyum kembali.

“aku hanya memberitahumu, tidak lebih.” Jawabnya lalu tersenyum padaku, baru kusadari ternyata ia laki-laki yang manis. Tampaknya ia adalah seorang blasteran Jepang-Indo.

“jadi, kita berteman. Oke?” ujarku lalu mengulurkan tanganku ke arahnya. Ia tersenyum lalu menyambut uluran tanganku “oke”.

Ternyata gerimis sudah reda. Aku harus segera pulang agar orangtuaku tak khawatir.

“hm, Ken. Aku harus pulang. Orangtuaku sudah menunggu di rumah. Terimakasih untuk saranmu, saranmu sangat membantu.”

“hm, baiklah. Sama-sama Aira.”

“eum, bisakah kita bertemu lagi dilain waktu?”

Ia kembali menyunggingkan senyuman manis miliknya.

“tentu. Kalau tuhan berkehendak.” Jawabnya lalu tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
                        ***
Aku tengah memandang kosong langit kamarku yang berwarna putih. Aku memikirkan Ken. Entahlah, semenjak pertemuan itu kata-katanya terus terngiang di telingaku. Ku akui, sorang gadis pemalas bernama Aira mulai menyukai laki-laki murah senyum dan bijak bernama Tristan Ken. Sudah 3 minggu kejadian itu berlalu. Semenjak saat itu pula aku tak bertemu dengan Ken lagi, hampir tiap sore aku duduk di bangku yang berada di sudut taman itu menunggu sembari berharap akan bertemu dengannya lagi. Tapi, aku merasa usahaku sia-sia. Aku selalu pulang dengan rasa kecewa karena tak bertemu dengannya. Tapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap karena teringat perannya sangat besar dalam hidupku serta senyum manis miliknya. Hitung-hitung sejak 3 minggu yang lalu.
 Aku sangat berterimakasih padanya karena akhirnya semangat belajarku mulai stabil kembali, walaupun peringkatku tidak naik begitu pesat. Bayang senyuman manis miliknya terus menghantuiku. Aku menyesal tak bertanya lebih jauh tentangnya seperti nomor teleponnya. Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi? Rindu di hatiku sudah membumbung tinggi untuknya. Jika aku bertemu dengannya. Aku berjanji akan mengungkapkan perasaanku. Aku janji.

Ceklek.

Terdengar bunyi knop pintu kamarku terbuka dan ibu masuk menghampiriku, membuyarkan lamunanku tentang Ken.

“Aira, ayo ganti baju. Kita akan berziarah ke makam kakek dan nenek. Besok sudah puasa.”

“baiklah bu.”

Aku baru ingat jika besok para umat muslim mulai menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Ah, semoga saja aku bisa bertemu dengannya di komplek pemakaman.

                        ***

Ku ikuti langkah ibu dan ayah di depanku menyisir tanah komplek pemakaman. Komplek pemakaman sedikit ramai karena tak sedikit orang yang datang untuk berziarah. Sesaat setelah tiba di makam nenek dan kakek yang kebetulan bersebelahan. Pandanganku tertuju dengan makam baru yang tepat ada di sebelah kiri makam nenekku. Ku sesali aku menurunkan sifat ingin tahu dari ayahku. Tapi tidak ada salahnya jika aku tahu siapa yang tampaknya baru meninggal. Ku baca nama yang ada pada nisannya.

Tristan Ken bin Mashahi Ken

Lahir : Tokyo, 12 April 1994

Wafat : Jambi, 30 Mei 2012

Perlahan satu-persatu kristal beningku terjatuh bebas secara bergiliran. Lututku terasa lemas tak sanggup menopang tubuhku. Aku terduduk lemas dan mulai mengeluarkan isakan kecil. Dia, dia meninggal tepat sehari setelah aku bertemu dengannya. Aku sudah kehilangan salah satu teman baikku. Tidak, aku sudah kehilangan seseorang yang aku sukai. Jadi inikah yang kau maksud dengan ‘jika tuhan berkehendak’? Aku berharap ini adalah mimpi dan ibuku membangunkanku dari mimpi burukku. Tapi, bisa kusadari. Ini bukan mimpi.
Jadi, inikah yang dinamakan sakit hati? Jantungku berdetak tak karuan, nafasku memburu, leherku tercekat, nyeri yang menohok hatiku, dan lidahku kelu. Tak sanggup untuk berbicara bahkan untuk menggerakkan bibirpun rasanya sangat sulit.

“hai Ken.. kenapa kita bertemu di sini? Aku tak menyangka jika kita akan bertemu lagi. Tuhan memang mengabulkan doa ku bertemu denganmu di komplek pemakaman, tapi sayang dunia kita sudah berbeda. Hm, terimakasih atas saranmu waktu itu. Aku memiliki kemajuan yang pesat setelah bertemu denganmu saat itu.”

Ku hentikan ucapanku, dadaku terasa sangat sesak. Ku hirup nafas dalam-dalam. Lalu mencoba untuk berbicara lagi. Walaupun isakan kecil masih keluar begitu saja dari mulutku. Haruskah aku menepati janji yang belum lama aku ucapkan?

 “Dan satu lagi, aku menyukaimu. Menyukaimu sebagai lelaki. Bukan sebagai sahabat atau istilah lainnya. Ken.. semoga kau tenang di pangkuan-Nya.. apa kau sudah bertemu dengan kakek dan nenekku? Jika kau bertemu dengannya. Katakan pada mereka jika kaulah yang membuat cucu mereka yang pemalas bisa menjadi rajin. aku akan selalu mengingat jasamu. Kau pahlawanku..”

Ku sentuh nisan kayu milik Ken dengan jemari ku yang bergetar hebat. Sekelebat bayang senyumnya kembali tergambar jelas dalam memoriku. Senyuman, mata elang miliknya. Aku menyukai semua hal yang ada pada dirinya. Terasa rintik-rintik air mulai membasahi punggung tanganku dan nisan Ken, gerimis. Gerimis yang mengiringi pertemuan  kita. Gerimis pula yang mengiringi keharusanku untuk ikhlas melepaskanmu. Gerimis pengiring pertemuan dan perpisahan kita.  Pertemuan singkat kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar